Ketentuan Dasar Tajdid yang Benar

Rio Agusri - Kamis, 02 Mei 2024 05:00 WIB
Ketentuan Dasar Tajdid yang Benar
Ilustrasi (Foto int)
datanews.id -Tajdîduddin (pembaharuan agama)[1] dalam koridor pengertiannya yang benar adalah amal islami. Sehingga tidak semua yang mengaku melakukan tajdîd lantas disebut mujaddid, karena harus memenuhi berbagai syarat. Demikian juga usaha tajdîd hanya akan diakui dan diperhitungkan bila sesuai dengan ketentuan-ketentuan dasar yang telah digariskan para ulama. Diantara ketentuan-ketentuan itu :

Seorang mujaddid berasal dari kalangan ahlussunnah wal Jamâ'ah yang bebas dari kebid'ahan dan berjalan diatas manhaj Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Oleh karena itu, ahlul bid'ah dan tokoh sekte sesat tidak bisa ditetapkan sebagai mujaddid walaupun dipandang memiliki ilmu yang tinggi.

Seorang ulama besar India bernama syaikh Syamsul Haq al-'Azhîm âbâdî rahimahullah (wafat tahun 1858 M) menyatakan, "Sungguh sangat mengherankan apa yang dilakukan penulis kitab Jâmi'ul Ushûl yang memasukkan Abu Ja'far al-Imâmi asy-Syî'i dan al-Murtadhâ sebagai Mujaddid". Lalu beliau lanjutkan, "Jelas, menganggap dua orang ini sebagai mujaddid adalah kesalahan fatal dan nyata. Karena ulama syi'ah walaupun (dianggap) telah mencapai martabat mujtahid, sangat menguasai berbagai cabang ilmu dan namanya sudah sangat tersohor, namun mereka tidak pantas diberi gelar mujaddid. Bagaimana pantas, bagaimana mereka melakukan pembaharuan (tajdîd) ? Mereka sendiri merusak agama ini; Mereka mematikan sunnah, bagaimana bisa disebut menghidupkan sunnah ? Mereka menebar kebid'ahan, bagaimana mungkin disebut pemberangus bid'ah ? Mereka ini sebenarnya kelompok orang-orang yang menghancurkan agama dan orang-orang yang tidak mengerti. Mayoritas karya mereka adalah tahrif, penyimpangan dan ta'wil, bukan tajdid dalam agama dan tidak juga menghidupkan pengamalan al-Qur`ân dan sunnah yang telah hilang (dari tengah masyarakat) ".[2]

Memiliki sumber pengambilan ilmu dan manhaj istidlal (metodologi pengambilan dalil) yang benar. Maksudnya, metodologinya dalam belajar dan pengambilan dalil dibangun diatas metode al-Qur`ân , sunnah Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam , ijmâ' , qiyâs yang shahih (benar) dan tinjauan maslahat yang tidak bertentangan dengan nash syariat.
Memiliki ilmu syar'i yang benar. Karena diantara aktifitas tajdid adalah mengajarkan agama kepada masyarakat, menebarkan ilmu syar'i dan membela sunnah dan ahlinya serta menghancurkan kebid'ahan.

Seorang mujaddid harus seorang alim yang pakar dalam agama, da'i cerdas yang mampu menjelaskan al-Qur`ân dan sunnah Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam yang shahih kepada manusia, menjauhkan masyarakat dari kebid'ahan dan memperingatkan manusia dari perkara yang diada-adakan dalam Islam serta menyadarkan mereka dari penyimpangan kepada jalan yang lurus yaitu kepada al-Qur`ân dan sunnah Rasûlullâh Shallallahu 'alaihi wa sallam.[3]

SHARE:
Tags
Berita Terkait
Komentar
Berita Terbaru